DOCUMENT INVESTIGASI LSM GASPARI
No : 120.08-09/SEK-BPW/GASPARI/II/2012
Lampiran : -
Sifat : Istimewa
Hal : Intrupsi Kebijakan yang gelap (Diskrection Lowblack)
Keberatan atas KEBIJAKAN CAMAT KUTA MAKMUR
(Laporan Pertimbangan Pengajuan Bahan Lidik)
Camat Kuta Makmur /Muhammad Zulfadli, S.Sos (Tergugat III)
Lhokseumawe, 14 September 2012
Kepada Yth;
Bapak
BUPATI ACEH UTARA c.q SEKRETARIAT
DAERAH KABAG PEMERINTAHAN
Di –
Tempat
|
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Dengan Hormat,-
Sehubungan dengan Surat Keterangan legalitas Badan Pengurus Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Aspirasi Pemuda Aceh Rakyat Indonesia (LSM GASPARI) sebagai salah satu lembaga aktifis Pemantauan bidang Hukum, Pemantauan bidang Lingkungan Hidup, dan Pemantauan di bidang Hak Asasi Manusia. Dengan ini menerangkan legalitas Lembaga kami sebagai berikut :
akta pendirian vide notaris ORIZA SAPHRINA, SH Notaris SK. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor : C-1477.HT.03.01 tahun2002 LSM GASPARI Nomor NOTARIS 31,- Tanggal 13 Febuari 2010. Nomor W1.AH 03.01 476 pada hari rabu tanggal 17 maret 2010 Akta tersebut telah didaftarkan dalam buku register yang tertentu untuk maksud itu atas nama KEPALA KANTOR WILAYAH KEPALA DIVISI PELAYANAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA Up. KEPALA BIDANG PELAYANAN HUKUM KANTOR WILAYAH DEPARTEMEN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA PROVINSI ACEH
Akta ini juga telah didaftarkan didalam Buku Register, untuk maksud itu yang ada di Kepaniteraan PENGADILAN NEGERI LHOKSEUMAWE, dibawah nomor H1.04.10-69 Tanggal 09 April 2010
Surat Keterangan Terdaftar
No : PEM-172/WPJ.25/KP.0203/2010
Departemen Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal PAJAKKANWIL DJP Aceh kantor PP Lhokseumawe
Surat Ketarangan Terdaftar
SKT : No 220/002/2010
Badan Kesatuan Bangsa, politik dan perlindungan masyarakat
Pemerintah kota Lhokseumawe
Surat Keterangan Terdaftar
SKT No: Kesbang 220/74/2011
Badan kesatuan bangsa, politik dan perlindungan masyarakat
Pemerintah Kabupaten Aceh Utara
Untuk mewujudkan penyelenggaraan yang bersih dan bebas dari KORUPSI, KOLUSI, & NEPOTISME (KKN), yang ditetapkan asas-asas umum Penyelenggaraan Negara yang meliputi asas KEPASTIAN HUKUM, ASAS TERTIB PENYELENGGARAAN NEGARA, ASAS KEPENTINGAN UMUM, ASAS KETERBUKAAN, ASAS PROFESIONALITAS DAN ASAS AKUNTABILITAS.
Pengaturan tentang PERAN SERTA MASYARAKAT dalam rangka mewujudkan penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari KKN. Dengan Hak dan Kewajiban yang dimiliki masyarakat diharapkan dapat lebih bergairah melaksanakan CONTROL SOCIAL secara optimal terhadap penyelenggaraan Negara, dengan tetap menaati rambu-rambu hukum yang berlaku. Peran serta masyarakat dalam upaya pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR) diwujudkan dalam bentuk antara lain MENCARI, MEMPEROLEH, MEMBERIKAN DATA ATAU INFORMASI tentang TIPIKOR dan Hak menyampaikan Saran dan Pendapat secara Bertanggung jawab, didalam mewujudkan masyarakat terhadap pencegahan dan pemberantasan TIPIKOR.
MEMPERTIMBANGKAN :
ATAS NAMA RAKYAT INDONESIA, Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Aspirasi Pemuda Aceh Rakyat Indonesia yang disingkat dengan GASPARI hingga saat ini tetap konsisten dan komitmen terhadap PENEGGAKAN dan PENGADILAN HUKUM yang SEADIL-ADILNYA. Oleh sebab itu, atas nama LSM GASPARI “INSYA ALLAH” sekuat dan sebisa mungkin terus berjuang menegakkan Supramasi Hukum Demi kepentingan Rakyat melawan ketidakadilan yang terjadi berdasarkan FAKTA dan REALITA Untuk mewujudkan Cita-cita bangsa ini diantaranya mengikut sertakan dan mendukung serta melaksanakan Aturan yang berlaku diantaranya sebagai berikut :
1. PP RI No 17 TAHUN 2000 tentang TATA CARA PELAKSANAAN PERAN SERTA MASYARAKAT DAN PEMBERIAN PENGHARGAAN DALAM PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TIPIKOR.
“ Setiap orang, Organisasi Masyarakat, atau Lembaga Swadaya Masyarakat berhak mencari, Memperoleh, dan Memberikan Informasi adanya dugaan telah terjadi Tindak Pidana Korupsi serta menyampaikan saran dan pendapat Kepada Penegak Hukum atau Komisi yang menangani TIPIKOR”
2. UU RI No. 20 Tahun 2001 Tentang PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 Tentang PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
“ Bahwa Tindak Pidana Korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan Keuangan Negara, tetapi juga telah merupakan Pelanggaran terhadap hak-hak Sosial dan Ekonomi Masyarakat secara luas, sehingga TIPIKOR perlu digolongkan sebagai Kejahatan Yang Memberantasnya harus dilakukan secara luar biasa” .
3. INPRES No. 5 TAHUN 2004 Tentang PERCEPATAN PEMBERANTASAN KORUPSI.
“ Memberikan dukungan Maksimal terhadap upaya-upaya penindakan Korupsi yang dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan cara mempercepat pemberian Informasi yang berkaitan dengan perkara TIPIKOR dan mempercepat pemberian Izin pemeriksaan terhadap saksi/tersangka ”.
4. UU RI NO 7 Tahun 2006 “ PENGESAHAN UNITED NATIONS CONVENTION AGAINST CORRUPTION, 2003 {KONVENSI PERSERIKTAN BANGSA-BANGSA ANTI KORUPSI}.
“ Tindak-tindakan Pencegahan, memuat kebijakan dan Praktek Pencegahan Korupsi; badan atau badan-badan Pencegahan Korupsi; Sektor Publik; Aturan Prilaku bagi Pejabat Publik; Pengadaan Umum dan Pengelolaan Keuangan Publik; Pelaporan Publik; Tindakan-tindakan yang Berhubungan dengan jasa-jasa Peradilan dan Penuntutan; Sektor Swasta; partisispasi masyarakat; dan Tindakan-tindakan untuk Mencegah Pencucuian Uang “
5. INSTRUKSI PRESIDEN RI NOMOR 17 TAHUN 2O11 “ AKSI PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN KORUPSI TAHUN 2012”
PERTAMA, berpedoman pada strategi-strategi yang meliputi :
1. Strategi Pencegahan;
2. Strategi Penegakan Hukum;
3. Strategi Peraturan Perundang-Undangan;
4. Strategi Kerjasama Internasional dan Penyelamatan Aset Hasil Korupsi;
5. Strategi Pendidikan dan Budaya Anti Korupsi;
6. Strategi Mekanisme Pelaporan.
KEDUA : Dalam mengambil langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Diktum
6. PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 2 TAHUN 2010 TENTANG PENANGANAN PENGADUAN MASYARAKAT
a. Bahwa pengaduan masyarakat merupakan salah satu bentuk pengawasan pelaksanaan pelayanan publik, sehingga perlu mendapatkan tanggapan dengan cepat, tepat dan dapat dipertanggung jawabkan
b. Bahwa Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penanganan dan Penyelesaian Masalah Pertanahan perlu dilengkapi agar dapat mengakomodir bentuk-bentuk pengaduan masyarakat yang semakin beragam;
c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b perlu ditetapkan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia tentang Penanganan Pengaduan Masyarakat.
---------------____----DEMI KEADILAN.----____---------------
Berdasarkan Laporan saudari SALMAWATI yang telah dilakukan Observasi Perkara oleh pihak LSM GASPARI dimana Memberi Kuasa juga telah melampirkan berkas-berkas yang dianggap terkait (Bukti Hak Milik), Dalam sengketa ini PELAPOR merasakan Hak Asasi – Nya terabaikan, sehingga menimbulkan KERUGIAN Yang Ber-arti selama ini. SALMAWATI juga merupakan KORBAN yang dikatagorikan sebagai Orang Lemah/Kurang memahami Ilmu Pengatahuan Khusus dibindang HUKUM. Baik Korban Penindasan Kaum yang golongan Miskin tempat Tinggal di desa terpencil Pedalaman Barat Aceh Utara. Disamping itu SALMAWATI juga seorang Janda dari Almarhum Suami yang meninggal saat aceh bersimbah Darah, ia juga merupakan salah satu Saksi Bisu Tragedi Konflik ACEH BERDARAH. Trauma dan Ketakutan yang dirasakan saat Peristiwa Tragedi silam yang mendalam. Sebagai GANDER-KAUM PEREMPUAN Terlapor Azmiruddi bersama suruhannya pernah menemui yang Hak Asasi Nya di injak-injak pihak yang paling dirugikan oleh beberapa ulah Oknum yang memanfaatkan Situasi dan Kondisi. Sengketa Tanah yang telah memakan waktu yang cukup lama, maka dianggap perlu Tinjauan Ulang perkara secara Objektifitas yang berdasarkan FAKTA DAN REALITAS YANG SESUNGGUHNYA.
Dengan demikian diharapkan dapat menjadi sebuah
PERTIMBANGAN HUKUM YANG PATUT DIHARGAI OLEH SEGENAP PENEGAK HUKUM, apratur negara, serta Pencegahan dan pemberantasan Korupsi dapat menjadi MOMENTUM dalam melaksanakan atau menciptakan Good Goverment Governanince (Penyelenggara Negara yang Baik dan Bersih dari TIPIKOR) dan PENEGAKAN KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA harus dilaksanakan secara obyektif, akuntabel,menjunjung tinggi kepastian hukum dan rasa keadilan (legal and legitimate)
khususnya dikabupaten Aceh Utara, Provinsi Aceh
Lampiran-lampiran atau Data-data OTENTICK yang dianggap perlu. Akan diserahkan kepada pihak yang berwenang atau dengan bahan awal sebagai Pengajuan Lidik sebagai negara yang menganut Praduga tak bersalah. Perlu dijelaskan Kembali sejarah awal sengketa tanah berada di desa SAGOE WENG Kecamatan KUTA MAKMUR Kabupaten ACEH UTARA dapat diriwayatkan sebagai berikut :
I. Surat KETERANGAN GANTI RUGI KREDITOR (SALMAWATI) DENGAN DEBITOR (JAFAR ALI), atas dua petak tanah Kebun Kopi yang terletak di GROUP 4 Desa Sagoe Weng Kec. Kuta Makmur Aceh Utara. Di tetapkan didesa Sagoe Weng, 20 Juni 1989 (TERLAMPIR)
II. Surat KETERANGAN GANTI RUGI KREDITOR {SALMAWATI} DENGAN DEBITOR {A. WAHAB}, atas Sepetak Kebun Pinang yang luasnya 23 Rante, terletak Desa Sagoe Weng Kec. Kuta Makmur Aceh Utara. Di tetapkan didesa Sagoe Weng, ditetapkan Sagoe Weng 20 Januari 1997 (TERLAMPIR)
III. Surat KUASA HAK /WARISAN – KELUARGA / PIHAK PERTAMA /SUAMI {AMIR THALEB} DENGAN PIHAK KEDUA/ ISTERI {SALMAWATI}, MENGAKU BAHWA PIHAK PERTAMA TELAH MEMBERIKAN KUASA SEPENUHNYA KEPADA PIHAK KEDUA ATAS TANAH KEBUN PINANG, TANAH KEBUN KOPI, TANAH KEBUN KARET/ BERSERTA ISINYA. Dan juga Rumah Beserta dengan segala isinya. Ditetapkan didesa SP 5, Krueng Pasee 22 Januari 1997 (terlampir)
UU RI NO 5 TAHUN 1960 TENTANG PERATURAN DASAR POKOK-POKOK ARGRARIA,
BAB III “Hak Milik”
Pasal 25
Hak milik dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan.
Penjelasan Pasal 25
Tanah milik yang dibebani hak tanggungan ini tetap ditangan pemiliknya. Pemilik tanah yang memerlukan uang dapat pula (untuk sementara) menggadaikan tanahnya menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal 53. Didalam hal ini maka tanahnya beralih pada pemegang gadai
Pasal 26
(1). Jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang. Dimaksudkan untuk memindahkan hak milik serta pengawasannya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2) Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang warga-negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai kewarga-negaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang ditetapkan oleh Pemerintah termaksud Dalam pasal 21 ayat (2), adalah batal karena hukum dan tanahnya jatuh kepada Negara, dengan ketentuan, bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO 4 Tahun 1996 Tentang HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH
Pasal 2
(1) Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(2) Apabila Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah, dapat diperjanjikan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan, bahwa pelunasan utang yang dijamin dapat dilakukan dengan cara angsuran yang besarnya sama dengan nilai masing-masing hak atas tanah yangmerupakan bagian dari obyek Hak Tanggungan, yang akan dibebaskan dari HakTanggungan tersebut, sehingga kemudian Hak Tanggungan itu hanya membebani sisa obyek Hak Tanggungan untuk menjamin sisa utang yang belum dilunasi.
Pasal 3
(1). Utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan dapat berupa utang yang telah ada atau yang telah diperjanjikan dengan jumlah tertentu atau jumlah yang pada saat permohonan eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan berdasarkan perjanjian Utang-piutang atau perjanjian lain yangmenimbulkan hubungan utang-piutang yang bersangkutan.
(2) Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu utang atau lebih yang berasal dari beberapa hubungan hukum.
Pasal 6
Apabila debitor cidera janji, pemegang HakTanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutang nyadari hasil penjualan tersebut.
Pasal 7
Hak Tanggungan tetap mengikuti obyeknya dalam tangan siapa pun obyek tersebut berada.
BAB III
PEMBERI DAN PEMEGANG HAK TANGGUNGAN
Pasal 8
PEMBERI DAN PEMEGANG HAK TANGGUNGAN
Pasal 8
(1) Pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(2) Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek HakTanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ada pada pemberi HakTanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan.
BAB IV
TATA CARA PEMBERIAN, PENDAFTARAN, PERALIHAN,
TATA CARA PEMBERIAN, PENDAFTARAN, PERALIHAN,
DAN HAPUSNYA HAK TANGGUNGAN
Pasal 10
Pasal 10
(1) Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam dan merupakan bagian tak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut.
(2) Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Apabila obyek Hak Tanggungan berupa hak atas tanah yang berasal dari konversi hak lama yang telah memenuhi syarat untuk didaftarkan akan tetapi pendaftarannya belum dilakukan, pemberian Hak Tanggungan dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran hak atas tanah yang bersangkutan.
Pasal 13
(1) Pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.
(2) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelahpenandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yangbersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan.
(3) Pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek HakTanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
(4) Tanggal buku-tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuhpada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerjaberikutnya.
(5) Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku-tanah HakTanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 14
(1) Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan per-undang-undangan yang berlaku.
(2) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
(3) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah.
(4) Kecuali apabila diperjanjikan lain, sertipikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalamPasal 13 ayat (3) dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yangbersangkutan.
(5) Sertipikat Hak Tanggungan diserahkan kepada pemegang Hak Tanggungan.
Pasal 15
(1) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan wajib dibuat dengan akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;
b. tidak memuat kuasa substitusi;
c. mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama serta identitas kreditornya, nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
(2) Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun juga kecuali karena kuasa tersebut telah dilaksanakan atau karena telah habis jangka waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(3) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.
(4) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah yang belum terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.
(5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4)tidak ber-laku dalam hal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undanganyang berlaku.
(6) Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan yang tidak diikutidengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dalam waktu yang ditentukansebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yangditentukan menurut ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demihukum.
Pasal 16
(1) Jika piutang yang dijamin dengan Hak Tanggungan beralih karena cessie, subrogasi, pewarisan, atau sebab-sebab lain, Hak Tanggungan tersebut ikut beralih karena hukum kepada kreditor yang baru.
(2) Beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)wajib didaftarkan oleh kreditor yang baru kepada Kantor Pertanahan.
(3) Pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan mencatatnya padabukutanah Hak Tanggungan dan buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipika Hak Tanggungan dan sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan.
(4) Tanggal pencatatan pada buku-tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) adalah tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkapsurat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya Hak Tanggungan dan jikahari ketujuh itu jatuh pada hari libur, catatan itu diberi bertanggal harikerja berikutnya.
(5) Beralihnya Hak Tanggungan mulai berlaku bagi pihak ketiga pada hari tanggal pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).
Pasal 17
Bentuk dan isi Akta Pemberian Hak Tanggungan, bentukdan isi buku-tanah Hak Tanggungan, dan hal-hal lain yang berkaitan dengan tatacara pemberian dan pendaftaran Hak Tanggungan ditetapkan dan diselenggarakan berdasarkan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Pasal 18
(1) HakTanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:
a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
c. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
(2) Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
(3) Hapusnya Hak Tanggungan karena pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan
peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karenapermohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agarhak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19.
(4) Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibeban Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin.
Pasal 19
(1) Pembeli obyek Hak Tanggungan, baik dalam suatu pelelangan umum atas perintah Ketua
Pengadilan Negeri maupun dalam jual beli sukarela,dapat meminta kepada pemegang Hak Tanggungan agar benda yang dibelinya itu dibersihkan dari segala beban Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.
(2) Pembersihan obyek Hak Tanggungan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan pernyataan tertulis daripemegang Hak Tanggungan yang berisi dilepaskannya Hak Tanggungan yang membebaniobyek Hak Tanggungan yang melebihi harga pembelian.
(3) Apabila obyek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu HakTanggungan dan tidak terdapat kesepakatan di antara para pemegang HakTanggungan tersebut mengenai pembersihan obyek Hak Tanggungan dari beban yang melebihi harga pembeliannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembeli benda tersebut dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi letak obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan untuk menetapkan pembersihan itu dan sekaligus menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang di antara para yang berpiutang dan peringkat mereka menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(4) Permohonan pembersihan obyek Hak Tanggungan dari HakTanggungan yang membebaninya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapatdilakukan oleh pembeli benda tersebut, apabila pembelian demikian itu dilakukan dengan jual beli sukarela dan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan para pihak telah dengan tegas memperjanjikan bahwa obyek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2) huruf f.
BAB V
EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
Pasal 20
EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN
Pasal 20
(1) Apabila debitor cidera janji, maka berdasarkan:
a. hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek HakTanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, atau
b. titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat HakTanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2), obyek Hak Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada kreditor-kreditor lainnya.
(2) Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan jika dengan demikian itu akan dapat
diperoleh harga tertinggi yang meng-untungkan semua pihak.
(3) Pelaksanaan penjualan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukansecara tertulis oleh pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepadapihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan sedikit-dikitnya dalam 2 (dua)surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan dan/atau media massa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.
(4) Setiap janji untuk melaksanakan eksekusi Hak Tanggungan dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) batal demi hukum.
(5) Sampai saat pengumuman untuk lelang dikeluarkan, penjualansebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dihindarkan dengan pelunasan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan itu beserta biaya-biaya eksekusi yang telah dikeluarkan.
Pasal 21
Apabila pemberi Hak Tanggungan dinyatakan pailit, pemegang Hak Tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnyamenurut ketentuan Undang-Undang ini.
BAB VII
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 23
SANKSI ADMINISTRATIF
Pasal 23
(1) Pejabat yang melanggar atau lalai dalam memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (2), dan Pasal 15ayat (1) Undang-undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya dapat dikenaisanksi administratif, berupa :
a. tegoran lisan;
b. tegoran tertulis;
c. pemberhentian sementara dari jabatan;
d. pemberhentian dari jabatan.
(2) Pejabat yang melanggar atau lalai dalam memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4), Pasal 16 ayat (4), dan Pasal 22ayat (8) Undang-Undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya dapat dikenaisanksi administratif sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yangberlaku.
(3) Pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat(2) tidak mengurangi sanksi yang dapat dikenakan menurut peraturanperundang-undangan lain yang berlaku.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratifsebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 24
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 24
(1) Hak Tanggungan yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini,yang menggunakan ketentuan Hypotheek atau Credietverband berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria diakui,dan selanjutnya berlangsung sebagai Hak Tanggungan menurut Undang-Undang inisampai dengan berakhirnya hak tersebut.
(2) Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapatmenggunakan ketentuan-ketentuan mengenai eksekusi dan pencoretannya sebagaimanadiatur dalam Pasal 20 dan Pasal 22 setelah buku-tanah dan sertipikat HakTanggungan yang bersangkutan disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 14.
(3) Surat kuasa membebankan hipotik yang ada pada saatdiundangkannya Undang-Undang ini dapat digunakan sebagai Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak saat berlakunya Undang-Undang ini, dengan mengingat ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (5).
Pasal 25
Sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini, semua peraturan perundang-undangan mengenai pembebanan HakTanggungan kecuali ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 tetap berlaku sampai ditetapkannya peraturan pelaksanaan Undang-Undang ini dandalam penerapannya disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 26
Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.
BAB IX “ KETENTUAN PENUTUP “
Pasal 28
Pasal 28
Sepanjang tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang ini, ketentuan lebih lanjut untuk melaksanakan Undang-Undang ini ditetap kandengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, ketentuan mengenai Credietverband sebagaimana tersebut dalam Staatsblad 1908-542 jo.Staatsblad 1909-586 dan Staatsblad 1909-584 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190 jo. Staatsblad 1937-191 dan ketentuan mengenai Hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai pembebanan Hak Tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PPAT
PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
BAB II
TUGAS POKOK DAN KEWENANGAN PPAT
Pasal 2
(1) PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hokum itu.
(2) Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut :
a. jual beli;
b. tukar menukar;
c. hibah;
d. pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng);
e. pembagian hak bersama;
f. pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik;
g. pemberian Hak Tanggungan;
h. pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan.
Pasal 3
(1) Untuk melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 seorang PPAT Mempunyai kewenangan membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.
(2) PPAT khusus hanya berwenang membuat akta mengenai perbuatan hukum yang disebut secara khusus dalam penunjukannya.
Pasal 10
(2) PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena :
a. melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT
b. dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
PERATURAN MENTERI NEGARA AGRARIA/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL
NOMOR 4 TAHUN 1999 TENTANG KETENTUAN PELAKSANAAN PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 37 TAHUN 1998 TENTANG PERATURAN JABATAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH
BAB IV PELAKSANAAN JABATAN PPAT Bagian Keempat Pembuatan Akta
Pasal 17
(1) PPAT melaksanakan tugas pembuatan akta PPAT di kantornya dengan dihadiri oleh para pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan atau kuasanya sesuai ketentuan yang berlaku.
(2) PPAT dapat membuat akta di luar kantornya hanya apabila salah satu pihak dalam perbuatan hukum atau kuasanya yang sesuai ketentuan yang berlaku harus hadir tidak dapat datang di kantor PPAT karena alasan yang sah, dengan ketentuan bahwa para pihak harus hadir di hadapan PPAT ditempat pembuatan akta tersebut.
Pasal 18
(1) Akta PPAT dibuat dengan mengisi blanko akta yang tersedia secara lengkap sesuai dengan petunjuk pengisiannya.
(2) Pengisian blanko akta dalam rangka pembuatan akta PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan data yang benar dan didukung oleh dokumen yang menurut pengetahuan PPAT yang bersangkutan adalah benar.
(3) Pembuatan akta PPAT dilakukan dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang memberi kesaksian mengenai :
a. identitas penghadap dalam hal PPAT tidak mengenal penghadap secara pribadi
b. kehadiran para pihak atau kuasanya;
c. kebenaran data fisik dan data yuridis obyek perbuatan hukum dalam hal obyek tersebut belum terdaftar;
d. keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta;
e. telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.
(4) Yang dapat menjadi saksi adalah orang yang memenuhi syarat untuk memberikan kesaksian di bawah sumpah di muka pengadilan mengenai kebenaran dalam perkara perdata.
Bagian Keenam Penjilidan Akta dan Warkah Pendukung Akta
Pasal 21
(1) Akta otentik atau surat dibawah tangan yang dipakai sebagai dasar bagi penghadap sebagai pihak dalam perbuatan hukum yang dibuatkan aktanya dinyatakan dalam akta yang bersangkutan dan dilekatkan atau dijahitkan pada akta yang disimpan oleh PPAT.
(2) Akta atau surat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
a) akta atau surat kuasa dari pihak yang berwenang melaksanakan perbuatan hukum,
b) akta atau surat persetujuan yang menurut peraturan diperlukan sebagai dasar kewenangan penghadap atau yang memberi kuasa kepada penghadap untuk melakukan perbuatan hukum, misalnya persetujuan suami atau isteri mengenai tanah kepunyaan bersama,
c) akta atau surat yang memuat bentuk pemberian kewenangan lain,
d) surat atau peta yang menjelaskan obyek perbuatan hukum yang bersangkutan.
Pasal 23
(1) Warkah yang merupakan dokumen yang dijadikan dasar pembuatan akta, selain akta atau surat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dijilid tersendiri dalam25 akta
(2) Penjilidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap bulan , dengan ketentuan bahwa :
a. apabila jumlah akta yang dibuat dalam bulan tersebut lebih dari 25 buah atau kelipatannya, maka warkah pendukung untuk kelebihan akta tersebut dijilid sebagai jilid warkah pendukung terakhir dalam bulan yang bersangkutan;
b. apabila jumlah akta yang dibuat dalam bulan tersebut kurang dari 25 buah, maka warkah pendukung untuk akta-akta tersebut dijilid sebagai satu-satunya jilid warkah pendukung akta dalam bulan yang bersangkutan.
BAB VI PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 35
(1) Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan tugas PPAT dilakukan dengan :
a. penetapan peraturan mengenai ke-PPAT-an sebagai pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998;
b. penetapan peraturan dan petunjuk teknis mengenai pelaksanaan tugas PPAT;
c. sosialisasi kebijaksanaan dan peraturan pertanahan serta petunjuk teknis kepada para PPAT;
d. pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban-kewajiban PPAT;
e. pengenaan tindakan administratif terhadap PPAT yang melanggar larangan atau melalaikan kewajibannya
Pasal 36
(1) Dalam rangka pelaksanaan pemeriksaan mengenai pelaksanaan kewajiban operasional PPAT Kepala Kantor Pertanahan dapat menugaskan staf Kantor Pertanahan untuk melakukan pemeriksaan di kantor PPAT yang bersangkutan.
(2) Petugas yang ditugaskan untuk melakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disertai dengan surat tugas.
(3) PPAT wajib memberi kesempatan kepada petugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) untuk memeriksa buku daftar akta, hasil penjilidan akta dan warkah, dan bukti-bukti pengiriman akta ke Kantor Pertanahan.
(4) Sebagai tanda bahwa sebuah buku daftar akta atau bagianya sudah diperiksa petugas pemeriksa mencantumkan parafnya pada setiap halaman yang sudah diperiksa dan pada akhir bagian yang sudah diperiksa menambahkan tulisan : "Halaman ....... sampai dengan halaman ....... buku daftar akta ini sudah diperiksa oleh saya .............................................." dan membubuhkan tanda tangannya di bawah tulisan itu.
(5) Hasil pemeriksaan tersebut dicantumkan dalam Risalah Pemeriksaan Pelaksanaan Kewajiban Operasional PPAT yang dibuat sesuai contoh dalam Lampiran X dan ditandatangani oleh petugas pemeriksa dan PPAT yang bersangkutan atau kuasanya, dengan ketentuan bahwa apabila PPAT yang bersangkutan atau kuasanya menolak untuk ikut menandatangani, maka hal tersebut dicantumkan pada ruangan tanda tangan yang bersangkutan.
Pasal 37
(1) Berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, pengamatan mengenai disiplin penyampaian akta dan laporan bulanan PPAT, dan informasi dari masyarakat maupun yang diketahui dalam pelaksanaan tugas sehari-hari Kepala Kantor Pertanahan memberikan tegoran tertulis kepada PPAT yang melanggar larangan atau melalaikan kewajibannya sebagai PPAT dengan memberikan tembusan tegoran tersebut kepada Menteri dan Kepala Kantor Wilayah yang bersangkutan.
(2) Kepala Kantor Wilayah memberikan peringatan tertulis kepada PPAT yang masih melakukan pelanggaran larangan atau melalaikan kewajibannya yang serupa sebagai PPAT walaupun sudah diberi tegoran sebelumnya sebagaimana dimaksud ayat (1), dan menyampaikan tembusan peringatan tersebut kepada Menteri dan Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan.
(3) Kepala Kantor Wilayah dapat memberi peringatan tertulis kepada PPAT yang melanggar larangan atau melalaikan kewajibannnya sebagai PPAT, walaupun yang bersangkutan tidak diberi tegoran tertulis lebih dahulu oleh Kepala Kantor Pertanahan.
(4) PPAT yang walaupun sudah diberi peringatan sebagaimana dimaksud ayat (2) dan (3) masih melakukan pelanggaran, larangan atau melalaikan kewajibannya yang serupa, diberhentikan untuk sementara atau diberhentikan secara definitif dari jabatannya sebagai PPAT.
(5) Menteri dapat memberhentikan PPAT yang melanggar larangan atau melalaikan kewajibannya sebagai PPAT, walaupun kepadanya tidak terlebih dahulu diberikan peringatan tertulis oleh Kepala Kantor Wilayah.
(6) PPAT yang menerima tegoran tertulis, peringatan tertulis atau pemberhentian sementara sebagaimana dimaksud ayat (1), (2), (3), (4), dan (5) dapat menyampaikan penjelasan atau pembelaannya kepada pejabat yang bersangkutan dalam waktu 2 (dua) minggu terhitung mulai tanggal diterimanya tegoran, peringatan atau pemberhentian sementara tersebut.
Pasal 38
(1) Untuk keperluan penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang dimaksud dengan pelanggaran berat adalah :
a. Pembuatan akta PPAT yang dilakukan sedangkan diketahui olehnya bahwa para pihak yang berwenang melakukan perbuatan hukum atau kuasanya sesuai ketentuan yang berlaku tidak hadir dihadapannya;
b. pembuatan akta mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun yang oleh PPAT yang bersangkutan diketahui masih dalam sengketa yang mengakibatkan penghadap yang bersangkutan tidak berhak untuk melakukan perbuatan hukum yang dibuktikan dengan akta;
c. Untuk penerapan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 yang dimaksud dengan pelanggaran ringan adalah pelanggaran di luar yang dimaksud pada ayat (1).
BAB VIII KETENTUAN PENUTUP
Pasal 40
Dengan berlakunya Peraturan ini maka :
a. Peraturan Menteri Agraria Nomor 10 Tahun 1961 tentang Penunjukan Pejabat yang dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961;
b. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1977 tentang Kewajiban Mengucapkan Sumpah atau Janji Bagi Para Pejabat Pembuat Akta Tanah;
c. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 tahun 1989 tentang Papan Nama, Kop Surat dan Stempel Jabatan;
d. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1996 tentang Formasi PPAT;
e. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 1998 tentang Pelimpahan Wewenang Pengangkatan dan Pemberhentian Camat sebagai PPAT, dan
f. ketentuan-ketentuan lain yang bertentangan dengan ketentuan dalam peraturan ini, dinyatakan tidak berlaku.
PERATURAN KEPALA Badan Pertanahan Nomor 1 tahun 2006 Peraturan Pelaksana PP 37 Tahun 1998 TENTANG PPAT
BAB VII HAK DAN KEWAJIBAN PPAT Bagian Kesatu Hak PPAT Kode Etik Profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
BAB VII HAK DAN KEWAJIBAN PPAT Bagian Kesatu Hak PPAT Kode Etik Profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT)
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan satuan rumah susun. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memang pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlndungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan PPAT, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.
Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pensertipikatan tanah, kegiatan sosial, dan lain-lain
kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak
dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik akan merupakan alat bukti tertulis yang kuat dan memberikan sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada PPAT. Namun PPAT mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta PPAT sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yakni dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta PPAT, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta PPAT yang akan ditandatanganinya.
Oleh karena hal tersebut diatas Penulis merasa tertarik dan perlu membahas permasalahan yang ada dengan mengambil judul sebagai berikut : PERANAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PENSERTIFIKATAN TANAH (sesuai dengan Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Peraturan Perundangan Lainnya).
B. Identifikasi Masalah
Berdaarkan uraian tersebut diatas,maka permasalah yang akan dibahas yaitu :
Apa itu Pejabat Pembuat Akta Tanah ?
Bagaimana peranan Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tnah Sementara?
Apa itu pendaftaran tanah?
Bagaimana peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pensertifikatan tanah hak milik?
a. memperoleh uang jasa (honorarium) dari pembuatan akta sesuai Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998;
b. memperoleh informasi serta perkembangan peraturan perundang undangan pertanahan;
c. memperoleh kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri sebelum ditetapkannya keputusan pemberhentian sebagai PPAT Pasal 37
(1) PPAT dapat melaksanakan cuti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a sebagai berikut :
A. Cuti tahunan paling lama 2 (dua) minggu setiap tahun takwim;
B. Cuti sakit termasuk cuti melahirkan, untuk jangka waktu menurut keterangan dari dokter yang berwenang;
C. Cuti karena alasan penting dapat diambil setiap kali diperlukan dengan jangka waktu paling lama 9 (sembilan) bulan dalam setiap 3 (tiga) tahun takwim.
(2) Untuk dapat melaksanakan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf c, PPAT yang baru diangkat dan diangkat kembali harus sudah membuka kantor PPATnya minimal 3 (tiga) tahun.
(3) Untuk melaksanakan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperlukan persetujuan sebagai berikut :
a. Untuk cuti yang lamanya kurang dari 3 (tiga) bulan dengan persetujuan Kepala Kantor Pertanahan setempat;
b. Untuk cuti yang lamanya 3 (tiga) bulan atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) bulan dengan persetujuan Kepala Kantor Wilayah setempat;
c. Untuk cuti yang lamanya 6 (enam) bulan atau lebih dengan persetujuan Kepala Badan.
Pasal 38
(1) Permohonan persetujuan untuk melaksanakan cuti diajukan secara tertulis oleh PPAT yang bersangkutan kepada pejabat yang berwenang memberi persetujuan cuti :
a. Paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sebelum tanggal mulai pelaksanaan cuti, kecuali permohonan cuti sakit yang dapat diajukan sewaktu-waktu sesudah diperoleh keterangan dokter;
b. Dalam hal permohonan cuti diajukan kurang dari waktu sebagaimana dimaksud pada huruf a atau melampaui tanggal mulai pelaksanaan cuti, maka keputusan cuti diberlakukan surut.
(2) Permohonan cuti harus mencantumkan lamanya cuti, tanggal mulai pelaksanaan dan berakhirnya cuti, alasan pengambilan cuti, daftar cuti yang telah dilaksanakan dalam 3 (tiga) tahun terakhir dan alamat selama menjalankan cuti.
(3) Dalam hal PPAT menjalankan cuti, maka permohonan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disertai dengan usul pengangkatan PPAT Pengganti, kecuali di daerah kerja tersebut sudah terdapat PPAT lain yang diangkat oleh Kepala Badan.
(4) Permohonan usul pengangkatan PPAT Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilampiri dengan:
a. fotocopy KTP calon PPAT Pengganti yang masih berlaku;
b. salinan atau fotocopy surat pengangkatan atau perjanjian kerja calon PPAT Pengganti sebagai pegawai PPAT yang bersangkutan; fotocopy ijazah Sarjana Hukum calon PPAT Pengganti; dan
c. berita acara pengangkatan sumpah jabatan PPAT Pengganti apabila yang diusulkan sebagai PPAT Pengganti pernah menggantikan PPAT yang bersangkutan di daerah kerja yang sama.
(5) PPAT Pengganti yang diusulkan harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, berusia sekurang-kurangnya 30 (tiga puluh) tahun dan belum berumur 65 (enam puluh lima) tahun sampai dengan batas akhir masa jabatan PPAT Pengganti.
(6) Sebelum melaksanakan cuti, PPAT wajib menutup Buku Daftar Akta dan melaporkan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat dan selama cuti yang bersangkutan tidak perlu membuat laporan bulanan.
Pasal 39
Pasal 39
(1) Pejabat yang berwenang memberikan persetujuan cuti wajib memberikan persetujuannya mengenai permohonan cuti yang sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) apabila :
a. jumlah PPAT di daerah kerja yang bersangkutan lebih dari 50% (lima puluh persen) dari formasi PPAT; atau
b. alasan pengambilan cuti adalah karena sakit; atau
c. permohonan persetujuan tersebut disertai dengan usulan pengangkatan PPAT Pengganti.
(2) Penolakan pemberian persetujuan cuti yang sesuai ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) dan ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh pejabat yang berwenang apabila jumlah PPAT di daerah kerja PPAT yang bersangkutan tidak lebih dari 50% (lima puluh persen) dari formasi PPAT, sedangkan pemberian cuti dikhawatirkan akan menghambat pelayanan kepada masyarakat.
(3) Penolakan atau persetujuan cuti harus diterbitkan oleh pejabat yang berwenang dalam waktu 7 (tujuh) hari sejak tanggal diterimanya permohonan persetujuan cuti dengan ketentuan bahwa dalam hal penolakan cuti, maka pemberitahuannya harus disertai alasan penolakan tersebut
(4) Dalam hal penolakan atau persetujuan tersebut tidak dikeluarkan dalam tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (3), maka cuti tersebut dianggap sudah disetujui sepanjang cuti tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 37 ayat (1) dan (2).
Pasal 40
Pasal 40
(1) Persetujuan untuk menjalankan cuti PPAT diberikan dengan keputusan pejabat yang berwenang yang dibuat menurut contoh sebagaimana tercantum dalam Lampiran V.
(2) Dalam hal pengajuan permohonan persetujuan cuti disertai usul pangangkatan PPAT Pengganti sebagaimana dimaksud pada Pasal 38 ayat (3), maka pangangkatan PPAT Pengganti dilakukan sekaligus dalam keputusan persetujuan cuti.
(3) Keputusan ijin pelaksanaan cuti berikut pengangkatan PPAT Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disampaikan kepada PPAT yang bersangkutan atau kuasanya dan kepada PPAT Pengganti serta salinannya disampaikan kepada :
1. Pejabat yang berwenang memberi ijin cuti lainnya;
2. Bupati/Walikota yang bersangkutan.
Pasal 41
1. Pejabat yang berwenang memberi ijin cuti lainnya;
2. Bupati/Walikota yang bersangkutan.
Pasal 41
(1) PPAT Pengganti melaksanakan tugas jabatannya sebagai pengganti PPAT yang menjalankan cuti setelah diterbitkan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dan setelah yang bersangkutan mengangkat sumpah jabatan.
(2) Dalam hal PPAT Pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang yang pernah melaksanakan tugas jabatan sebagai PPAT Pengganti untuk PPAT yang sama di daerah kerja yang sama, maka dalam melaksanakan tugas jabatannya yang bersangkutan tidak perlu mengangkat sumpah jabatan PPAT.
(3) Sebelum melaksanakan tugasnya PPAT Pengganti wajib menerima protokol PPAT dari PPAT yang digantinya.
(4) Dalam hal PPAT yang melaksanakan cuti berhalangan untuk menyerahkan protokol PPAT kepada PPAT Pengganti, maka serah terima protokol PPAT dilakukan oleh kuasa dari PPAT kepada PPAT Pengganti dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi.
(5) Dalam hal PPAT yang digantikan meninggal dunia sebelum berakhirnya masa cuti dan telah ditunjuk PPAT Pengganti maka kewenangan PPAT Pengganti tersebut dengan sendirinya berakhir.
(6) Dalam menjalankan tugas jabatannya, ketentuan yang berlaku pada PPAT berlaku pula terhadap PPAT Pengganti.
(7) PPAT Pengganti bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas jabatannya.
(8) Kewajiban PPAT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 berlaku pula bagi PPAT Pengganti.
Pasal 42
Pasal 42
(1) PPAT wajib melaporkan berakhirnya pelaksanaan cuti kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat paling lambat 1 (satu) minggu setelah jangka waktu cutinya habis dan melaksanakan kembali tugas jabatannya.
(2) Sebelum masa cutinya habis, PPAT dapat mengakhiri masa cutinya dan melaksanakan tugas jabatannya kembali.
(3) Dalam hal tugas jabatan PPAT dilaksanakan oleh PPAT Pengganti, PPAT yang menjalani cuti melaksanakan kembali tugas jabatan PPAT setelah menerima protokol dari PPAT Pengganti.
(4) PPAT Pengganti wajib menyerahkan protokol PPAT Pengganti kepada PPAT yang mengakhiri cutinya dan siap melaksanakan tugasnya kembali.
(5) PPAT yang dalam waktu 2 (dua) bulan setelah berakhirnya cuti sesuai dengan persetujuan cuti tidak melaksanakan tugasnya kembali diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai PPAT.
Pasal 43
Pasal 43
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 sampai dengan Pasal 42 tidak berlaku bagi PPAT Sementara dan PPAT Khusus.
Pasal 44
Pasal 44
(1) PPAT, Camat dan Kepala Kantor Pertanahan yang sedang menjalankan cuti dilarang membuat akta PPAT.
(2) Akta yang dibuat oleh PPAT, Camat atau Kepala Kantor Pertanahan yang sedang menjalankan cuti tidak dapat dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah.
(3) Apabila larangan mengenai pembuatan akta oleh pejabat yang sedang menjalankan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanggar, maka segala akibat hukumnya menjadi tanggung jawab pribadi dari pembuat akta yang bersangkutan.
Bagian Kedua Kewajiban PPAT
Pasal 45
PPAT mempunyai kewajiban :
Bagian Kedua Kewajiban PPAT
Pasal 45
PPAT mempunyai kewajiban :
menjunjung tinggi Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
mengikuti pelantikan dan pengangkatan sumpah jabatan sebagai PPAT;
menyampaikan laporan bulanan mengenai akta yang dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan, Kepala Kantor Wilayah dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan setempat paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya;
menyerahkan protokol PPAT dalam hal :
1. PPAT yang berhenti menjabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) kepada PPAT di daerah kerjanya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan;
2. PPAT Sementara yang berhenti sebagai PPAT Sementara kepada PPAT Sementara yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan;
3. PPAT Khusus yang berhenti sebagai PPAT Khusus kepada PPAT Khusus yang menggantikannya atau kepada Kepala Kantor Pertanahan. membebaskan uang jasa kepada orang yang tidak mampu, yang dibuktikan secara sah; membuka kantornya setiap hari kerja kecuali sedang melaksanakan cuti atau hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan setempat;
4. berkantor hanya di 1 (satu) kantor dalam daerah kerja sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatan PPAT;
5. menyampaikan alamat kantornya, contoh tanda tangan, contoh paraf dan teraan cap/stempel jabatannya kepada Kepala Kantor Wilayah, Bupati/ Walikota, Ketua Pengadilan Negeri dan Kepala Kantor Pertanahan yang wilayahnya meliputi daerah kerja PPAT yang bersangkutan dalam waktu 1 (satu) bulan setelah pengambilan sumpah jabatan;
6. melaksanakan jabatan secara nyata setelah pengambilan sumpah jabatan; memasang papan nama dan menggunakan stempel yang bentuk dan ukurannya ditetapkan oleh Kepala Badan;
lain-lain sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB VIII PALAKSANAAN JABATAN PPAT
Bagian Kesatu Kantor PPAT Pasal 46
Bagian Kesatu Kantor PPAT Pasal 46
(1) PPAT wajib berkantor di 1 (satu) kantor dalam daerah kerjanya sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pengangkatannya atau penunjukan dari Kepala Badan atau pejabat yang ditunjuk.
(2) Dalam hal PPAT merangkap jabatan sebagai Notaris, maka kantor tempat melaksanakan tugas jabatan PPAT wajib di tempat yang sama dengan kantor Notarisnya.
(3) Selain berkantor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) PPAT tidak dibenarkan membuka kantor cabang atau perwakilan atau bentuk lainnya yang terletak di luar dan atau di dalam daerah kerjanya dengan maksud menawarkan jasa kepada masyarakat.
Pasal 47
Pasal 47
(1) Kantor PPAT wajib dibuka setiap hari kerja kecuali pada hari libur resmi dengan jam kerja paling kurang sama dengan jam kerja Kantor Pertanahan setempat.
(2) Apabila dianggap perlu PPAT dapat membuka kantornya di luar jam kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam rangka memberikan pelayanan pembuatan akta pada masyarakat.
(3) Dalam hal PPAT sedang melaksanakan cuti dan tidak menunjuk PPAT Pengganti, kantor PPAT yang bersangkutan wajib dibuka setiap hari kerja untuk melayani masyarakat dalam pemberian keterangan, salinan akta yang tersimpan sebagai protokol PPAT.
Bagian Kedua Stempel Jabatan PPAT
Pasal 48
Bagian Kedua Stempel Jabatan PPAT
Pasal 48
(4) Wakil Camat atau Sekretaris Desa yang membuat akta untuk keperluan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor37 Tahun 1998 mempergunakan stempel jabatan yang dipergunakan PPAT Sementara yang bersangkutan.
Bagian Ketiga Papan Nama dan Kop Surat PPAT
Pasal 49
Bagian Ketiga Papan Nama dan Kop Surat PPAT
Pasal 49
Bagian Keempat Blanko Akta dan Pembuat AktaPasal 52
(1) PPAT melaksanakan tugas pembuat akta PPAT di kantornya dengan dihadiri oleh para pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan atau kuasanya sesuai peraturan perundang-undangan.
(2) PPAT dapat membuat akta di luar kantornya hanya apabila salah satu pihak dalam perbuatan hukum atau kuasanya tidak dapat datang di kantor PPAT karena alasan yang sah, dengan ketentuan pada saat pembuatan aktanya para pihak harus hadir dihadapan PPAT di tempat pembuatan akta yang disepakati.
Pasal 53
(3) pembuatan akta PPAT dilakukan dengan disaksikan oleh 2 (dua) orang saksi yang memberi kesaksian mengenai :
a. identitas dan kapasitas penghadap;
b. kehadiran para pihak atau kuasanya;
c. kebenaran data fisik dan data yuridis obyek perbuatan hukum dalam hal obyek tersebut sebelum terdaftar;
d. keberadaan dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta;
e. telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.
(4) Yang dapat menjadi saksi adalah orang yang telah memenuhi syarat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 54
Pasal 54
(1) Sebelum pembuatan akta mengenai perbuatan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf g, PPAT wajib melakukan pemeriksaan kesesuaian/keabsahan sertipikat dan catatan lain pada Kantor Pertanahan setempat dengan menjelaskan maksud dan tujuannya.
(2) Dalam pembuatan akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) PPAT tidak diperbolehkan memuat kata-kata“sesuai atau menurut keterangan para pihak” kecuali didukung oleh data formil.
(3) PPAT berwenang menolak pembuatan akta, yang tidak didasari data formil.
(4) PPAT tidak diperbolehkan membuat akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a sampai dengan huruf g, atas sebagian bidang tanah yang sudah terdaftar atau tanah milik adat, sebelum diukur oleh Kantor Pertanahan dan diberikan Nomor Identifikasi Bidang Tanah (NIB).
(5) Dalam pembuatan akta, PPAT wajib mencantumkan NIB dan atau nomor hak atas tanah, nomor Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT) PBB, penggunaan dan pemanfaatan tanah sesuai dengan keadaan lapangan.
Pasal 55
PPAT bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan jabatannya dalam setiap pembuatan akta.
Bagian Kelima Buku Daftar Akta PPAT
Pasal 56
Pasal 55
PPAT bertanggung jawab secara pribadi atas pelaksanaan tugas dan jabatannya dalam setiap pembuatan akta.
Bagian Kelima Buku Daftar Akta PPAT
Pasal 56
(1) PPAT wajib membuat daftar akta dengan menggunakan 1 (satu) buku daftar akta untuk semua jenis akta yang dibuatnya, yang di dalamnya dicantumkan secara berurut nomor semua akta yang dibuat berikut data lain yang berkaitan dengan pembuatan akta, dengan kolom-kolom sebagaimana dimaksud dalam contoh pada Lampiran IX.
(2) Buku daftar PPAT diisi setiap hari kerja PPAT dan ditutup setiap akhir hari kerja yang sama dengan garis tinta hitam dan diparaf oleh PPAT pada kolom terakhir dibawah garis penutup.
(3) Apabila pada hari kerja yang bersangkutan tidak terdapat akta yang dibuat, maka dicantumkan kata “Nihil”, disamping tanggal pencatatan dimaksud.
(4) Pada akhir kerja terakhir setiap bulan, daftar akta PPAT ditutup dengan garis merah dan tanda tangan serta nama jelas PPAT, dengan catatan di atas tanda tangan tersebut yang berbunyi sebagai berikut :
“Pada hari ini …. tanggal …. daftar akta ini ditutup oleh saya, dengan catatan dalam bulan ini telah dibuat …. (….) buah akta”
“Pada hari ini …. tanggal …. daftar akta ini ditutup oleh saya, dengan catatan dalam bulan ini telah dibuat …. (….) buah akta”
(5) Dalam hal PPAT menjalankan cuti, diberhentikan untuk sementara atau berhenti dari jabatannya, maka pada hari terakhir jabatannya itu PPAT yang bersangkutan wajib menutup daftar akta dengan garis merah dan tanda tangan serta nama jelas dengan catatan di atas tanda tangan tersebut yang berbunyi sebagai berikut :
“Pada hari ini …. tanggal …. Daftar akta ini ditutup oleh saya, karena menjalankan cuti/berhenti untuk sementara/berhenti.”
“Pada hari ini …. tanggal …. Daftar akta ini ditutup oleh saya, karena menjalankan cuti/berhenti untuk sementara/berhenti.”
(6) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (5) berlaku juga bagi PPAT Sementara dan PPAT Pengganti.
Pasal 57
Pasal 57
(1) Buku daftar akta harus diisi secara lengkap dan jelas sesuai kolom yang ada sehingga dapat diketahui hal-hal yang berkaitan dengan pembuatan akta termasuk mengenai surat-surat yang berkaitan.
(2) Pengisian buku daftar akta dilakukan tanpa baris kosong yang lebih dari 2 (dua) baris.
(3) Dalam hal terdapat baris kosong lebih dari 2 (dua) baris, maka sela kosong tersebut ditutup dengan garis berbentuk : Z.
Bagian Keenam Penjilidan Akta dan Warkah Pendukung Akta
Pasal 58
Bagian Keenam Penjilidan Akta dan Warkah Pendukung Akta
Pasal 58
(1) Akta otentik, surat dibawah tangan, atau dokumen lainnya yang dipakai sebagai dasar bagi penghadap sebagai pihak dalam perbuatan hukum yang dibuatkan aktanya dinyatakan dalam akta yang bersangkutan dan dilekatkan atau dijahitkan pada akta yang disimpan oleh PPAT.
(2) Akta otentik, surat dibawah tangan, atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah : akta atau surat kuasa dari pihak yang berwenang melaksanakan perbuatan hukum;
(3) akta atau surat persetujuan yang menurut peraturan diperlukan sebagai dasar kewenangan penghadap atau yang memberi kuasa kepada penghadap untukmelakukan perbuatan hukum, misalnya persetujuan suami atau isteri mengenai tanah kepunyaan bersama;
(4) akta atau surat yang memuat bentuk pemberian kewenangan lain;
(5) surat atau peta yang menjelaskan obyek perbuatan hukum yang bersangkutan.
Pasal 59
(1) Akta PPAT berikut akta otentik, surat dibawah tangan, atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58 dijilid dalam 1 (satu) sampul yang berisi 50 (lima puluh) akta.
(2) Penjilidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebulan sekali, dengan ketentuan :
a. apabila jumlah akta yang dibuat dalam bulan tersebut lebih dari 50 (lima puluh) buah atau kelipatannya, maka kelebihan akta tersebut dijilid sebagai jilid terakhir dalam bulan yang bersangkutan;
b. apabila jumlah akta yang dibuat dalam bulan tersebut kurang dari 50 (lima puluh) buah, maka akta-akta tersebut dijilid sebagai satu-satunya jilid akta dalam bulan yang bersangkutan.
Pasal 60
(1) Warkah yang merupakan dokuman yang dijadikan dasar pembuatan akta, selain akta otentik, surat dibawah tangan, atau dokumen lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58, dijilid tersendiri dalam bundel warkah pendukung yang masing-masing berisi warkah pendukung untuk 25 (dua puluh lima) akta.
(2) Penjilidan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setiap bulan, dengan ketentuan :
a. apabila jumlah akta yang dibuat dalam bulan tersebut lebih dari 25 (dua puluh lima) buah atau kelipatannya, warkah pendukung untuk kelebihan akta tersebut dijilid sebagai jilid warkah pendukung terakhir dalam bulan yang bersangkutan;
b. Apabila jumlah akta yang dibuat dalam bulan tersebut kurang dari 25 (dua puluh lima) buah, maka warkah pendukung untuk akta-akta tersebut dijilid sebagai satu-satunya jilid warkah pendukung akta dalam bulan yang bersangkutan.
(3) Pada punggung sampul bundel warkah pendukung dituliskan nomor nomor akta yang telah dibuat berdasarkan dokumen itu dengan menuliskan nomor terkecil dan yang terbesar dengan tanda strip (-) diantaranya, berikut tulisan “warkah” didepan nomor terkecil serta tahun pembuatan aktanya mengikuti garis miring (/) dibelakang nomor besar.
Pasal 61
Pasal 61
(1) PPAT wajib menyampaikan akta PPAT dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran akta perbuatan hukum yang dibuatnya kepada Kepala Kantor Pertanahan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatangani akta yang bersangkutan.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pelanggaran administratif.
Bagian Ketujuh Laporan Bulanan PPAT
Pasal 62
Bagian Ketujuh Laporan Bulanan PPAT
Pasal 62
(1) PPAT wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai semua akta yang dibuatnya paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya kepada Kepala Kantor Pertanahan dan Kepala Kantor Wilayah.
(2) PPAT wajib menyampaikan laporan bulanan mengenai Akta Jualbeli, Akta Tukar Menukar, Akta Hibah, Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan, Akta Pembagian Hak Bersama, Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik, dan Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan dan Kepala Kantor Pelayanan Pajak.
(3) Penyampaian laporan sebagimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan melalui jasa pengiriman atau diantar langsung ke alamat instansi yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
(4) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dibuktikan dengan tanda penerimaan oleh perusahaan jasa pengiriman atau tanda penerimaan oleh instansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), yang bertanggal paling lambat tanggal 10 bulan berikut dari bulan laporan.
Pasal 63
Laporan bulanan PPAT dibuat sebagaimana dimaksud pada contoh dan ketentuan dalam Keputusan Bersama Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Direktur Jenderal Pajak Nomor : SKB 2 Tahun 1998 KEP-179/PJ./1998
Pasal 63
Laporan bulanan PPAT dibuat sebagaimana dimaksud pada contoh dan ketentuan dalam Keputusan Bersama Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional dan Direktur Jenderal Pajak Nomor : SKB 2 Tahun 1998 KEP-179/PJ./1998
Pasal 64
(1) Dalam hal PPAT Pengganti mulai melaksanakan tugasnya tidak pada awal bulan dan berlangsung hingga kewajiban melapor dimaksud terbit, PPAT Pengganti berkewajiban menyampaikan laporan bulanan PPAT termasuk mengenai pelaksanaan tugas PPAT yang digantikannya.
(2) Dalam hal PPAT Pengganti mengakhiri tugasnya tidak pada awal bulan, PPAT yang digantikan wajib menyampaikan laporan bulanan PPAT Pengganti.
(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau dalam hal PPAT Pengganti melaksanakan tugas tersendiri dengan penuh pada bulan yang bersangkutan hingga terbit kewajiban melapor, dalam pengisian laporan nama PPAT ditulis dengan nama PPAT Pengganti dan PPAT yang digantikan dengan ditambah kata “pengganti dari” antara kedua nama tersebut.
Kode Etik Profesi Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasal 1 Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1 Tahun 2006 menyebutkan bahwa PPAT adalah pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan satuan rumah susun. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) memang pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik sejauh pembuatan akta tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat umum lainnya. Pembuatan akta otentik ada yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dalam rangka menciptakan kepastian, ketertiban, dan perlndungan hukum. Selain akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan PPAT, bukan saja karena diharuskan oleh peraturan perundang-undangan, tetapi juga karena dikehendaki oleh pihak yang berkepentingan untuk memastikan hak dan kewajiban para pihak demi kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum bagi pihak yang berkepentingan sekaligus bagi masyarakat secara keseluruhan.
Akta otentik sebagai alat bukti terkuat dan terpenuh mempunyai peranan penting dalam setiap hubungan hukum dalam kehidupan masyarakat. Dalam berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pensertipikatan tanah, kegiatan sosial, dan lain-lain
kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta otentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional, regional maupun global. Melalui akta otentik yang menentukan secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula dapat dihindari terjadinya sengketa. Walaupun sengketa tersebut tidak
dapat dihindari, dalam proses penyelesaian sengketa tersebut akta otentik akan merupakan alat bukti tertulis yang kuat dan memberikan sumbangan nyata bagi penyelesaian perkara secara murah dan cepat.
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa yang diberitahukan para pihak kepada PPAT. Namun PPAT mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam Akta PPAT sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yakni dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi Akta PPAT, serta memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penandatangan akta. Dengan demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak menyetujui isi Akta PPAT yang akan ditandatanganinya.
Oleh karena hal tersebut diatas Penulis merasa tertarik dan perlu membahas permasalahan yang ada dengan mengambil judul sebagai berikut : PERANAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH DALAM PENSERTIFIKATAN TANAH (sesuai dengan Kode Etik Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Peraturan Perundangan Lainnya).
B. Identifikasi Masalah
Berdaarkan uraian tersebut diatas,maka permasalah yang akan dibahas yaitu :
Apa itu Pejabat Pembuat Akta Tanah ?
Bagaimana peranan Camat sebagai Pejabat Pembuat Akta Tnah Sementara?
Apa itu pendaftaran tanah?
Bagaimana peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pensertifikatan tanah hak milik?
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA
BAB III PEMBEBANAN, PENDAFTARAN, PENGALIHAN, DAN HAPUSNYA JAMINAN FIDUSIA Bagian Pertama Pembebanan Jaminan Fidusia
Pasal 4
Jaminan Fidusia merupakan perjanjian ikutan dan suatu perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.
Pasal 5
(1) Pembebanan Benda dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta Jaminan Fidusia.
(2) Terhadap pembuatan akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikenakan biaya yang besarnya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 6
Akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sekurang-kurangnya memuat
a. identitas pihak Pemberi dan Penerima Fidusia;
b. data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
c. uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia;
d. nilai penjaminan; dan
e. nilai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
Pasal 7
Utang yang pelunasannya dijamin dengan fidusia dapat berupa:
a. utang yang telah ada;
b. utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan dalam jumlah tertentu; atau
c. utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya berdasarkan perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban memenuhi suatu prestasi.
Pasal 8
Jaminan Fidusia dapat diberikan kepada lebih dari satu Penerima Fidusia atau kepada kuasa atau wakil dan Penerima Fidusia tersebut.
Pasal 9
(1) Jaminan Fidusia dapat memberikan terhadap satu atau lebih satuan atau jenis Benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian.
(2) Pembebanan jaminan atas Benda atau piutang yang diperoleh kemudian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak perlu dilakukan dengan perjanjian jaminan tersendiri.
Pasal 10
Kecuali diperjanjikan lain:
a. Jaminan Fidusia meliputi hasil dari Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
b. Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia diasuransikan.
Bagian Kedua
Pendaftaran Jaminan Fidusia
Pendaftaran Jaminan Fidusia
Pasal 11
(1) Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan.
(2) Dalam hal Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berada di luar wilayah negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tetap berlaku.
I. Berdasarkan Bukti dan Pengakuan Saksi serta pernyataan Termohon Kami selaku pemberi Kuasa saudari SALMAWATI, terkait PENGANIAYAAN, TEROR, DISKRIMINASI, INTIMIDASI, PERAMPASAN HAK MILIK, PENYEROBOTAN HAK MILIK, PENIPUAN DAN PEMALSUAN SERTA PELECEHAN /PENGHINAAN/ PELANGGARAN PEREMPUAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
Berdasarkan bukti awal serta beberapa saksi terkait AKSI yang dimaksud diatas berdasarkan ketentuan – ketentuan Hukum yang berlaku di NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA (NKRI) sungguh bertentangan DENGAN KEPASTIAN HUKUM YANG JELAS, DISCRETION LOWBLACK
- bukti surat tanggal 6 September 2011/ 2 Lampiran (Terlampir)
- bukti surat TANGGAL 12 Desember 2011/ Surat Fiktif pihak Oknum CAMAT KUTAMAKMUR. (TERLAMPIR)
- bukti Surat penyalahgunaan Wewenang Jabatan GEUCHIK GAMPONG ALUE PAPEUN TENTANG PERNYATAAN AHLI WARIS ditetapkan Alue Papeun Kec. Nisam Antara Kabupaten Aceh Utara tanggal 16 Maret 2012 yang ditanda tangani oleh Geuchik Gampong Alue Papeun SYAWALUDDIN INSYA sepihak tanpa adanya undangan atau Kesepakatan TERMOHON SALMAWATI / YANG MEMBERI KUASA KAMI sebagaimana yang dimaksud dalam Ketentuan aturan hukum Yuridis yang berlaku
Hukum Tanah Nasional tunggal yang berdasarkan Hukum Adat
Tadinya pada Rancangan UUPA susunan Soenarjo tidak memilih Hukum Adat sebagai dasar Utama Pembangunan Tanah yang Baru. Namun dalam UUPA telah menanggalkan kebhinekaan hukum di bidang pertanahan dan menciptakan hukum tanah nasional yang tunggal pada hukum Adat. UUPA juga mengunifikasi hak-hak penguasaan atas tanah maupun hak-hak atas tanah maupun hak-hak jaminan atas tanah.
Tadinya pada Rancangan UUPA susunan Soenarjo tidak memilih Hukum Adat sebagai dasar Utama Pembangunan Tanah yang Baru. Namun dalam UUPA telah menanggalkan kebhinekaan hukum di bidang pertanahan dan menciptakan hukum tanah nasional yang tunggal pada hukum Adat. UUPA juga mengunifikasi hak-hak penguasaan atas tanah maupun hak-hak atas tanah maupun hak-hak jaminan atas tanah.
Hukum Adat sebagai bagian dari Hukum Tanah Nasional
• Hukum adat harus tetap menjadi acuan dalam pembentukan hukum hukum tanah selanjutnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya penyerapan Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional semakin berkurang untuk dijadikan dasar.
• Hukum kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat
• Hukum adat yang lahir dari Yurisprudensi Pengadilan ataupun Hukum Adat yang lahir dari Praktik Administrasi tidaklah dianggap sebagai Hukum Adat. Begitu juga dengan pembentukan hukum baru karena adanya kekosongan hukum tidak dianggap sebagai hukum adat.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku Kesatu - Aturan Umum Bab V Penyertaan dalam Tindak Pidana
• Hukum adat harus tetap menjadi acuan dalam pembentukan hukum hukum tanah selanjutnya. Namun dalam perkembangan selanjutnya penyerapan Hukum Adat dalam Hukum Tanah Nasional semakin berkurang untuk dijadikan dasar.
• Hukum kebiasaan baru yang bukan Hukum Adat
• Hukum adat yang lahir dari Yurisprudensi Pengadilan ataupun Hukum Adat yang lahir dari Praktik Administrasi tidaklah dianggap sebagai Hukum Adat. Begitu juga dengan pembentukan hukum baru karena adanya kekosongan hukum tidak dianggap sebagai hukum adat.Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku Kesatu - Aturan Umum Bab V Penyertaan dalam Tindak Pidana
Pasal 55
1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
(1) mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan;
(2) mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan.
2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 56
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1. mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan dilakukan;
2. mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau ke- terangan untuk melakukan kejahatan.
Pasal 57
1. Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap kejahatan, dikurangi sepertiga.
2. Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
3. Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya sendiri.
4. Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya, beserta akibat-akibatnya.
Pasal 58
Dalam menggunakan aturan-aturan pidana, keadaan-keadaan pribadi seseorang, yang menghapuskan, mengurangi atau memberatkan pengenaan pidana, hanya diperhitungkan terhadap pembuat atau pembantu yang bersangkutan itu sendiri.
Pasal 59
Dalam hal-hal di mana karena pelanggaran ditentukan pidana terhadap pengurus, anggota-anggota badan pengurus atau komisaris-komisaris, maka pengurus, anggota badan pengurus atau komisaris yang ternyata tidak ikut campur melakukan pelanggaran tidak dipidana.
8 produk perundang-undangan di tingkat nasional, yang berupaya mewujudkan kesetaraan Dan keadilan gender, jaminan perlindungan hak-hak perempuan, dan tersedianya akses perempuan pada keadilan, di antaranya:
1. Amandemen konstitusi di tahun 2004 juga telah memperkuat jaminan perlindungan dan pemenuhan hak-hak perempuan Indonesia.
2. UU No. 7/ 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan SegalaBentuk Diskriminasi terhadap Wanita
3. UU No. 39/1999 tentang HAM
4. UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM
5. UU No. 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT)
6. UU No. 11/2005 tentang Pengesahan Kovenan Ekonomi Sosial Budaya
7. UU No. 12 tentang Pengesahan Kovenan Sipil Politik
8. UU No. 12/2006 Kewarganegaraan
Kajian lebih lanjut diharapkan kepada pihak YUDIKATIF PENUNTUTAN UMUM dan MAJELIS HAKIM wilayah PERADILAN YANG BERWENANG sesuai dengan Aturan yang Berlaku.
II. YURISPRUDENSI SURAT PERNYATAAN PETANI tanggal 7 FEBRUARI 2012 TERMOHON/YANG MEMBERI KUASA KAMI Saudari SALMAWATI NIK ;1108164107700550 IKATAN KONTRAK ANTARA PTPN III selaku Avalis melalui KOPERASI PERKEBUNAN ”BATEE MEUASAH” dalam Program REVITALISASI PERKEBUNAN SK MENTERI PERTANIAN NO: 33/ PERMENTAN/OT.147/7/2006 Tanggal 26 Juli 2006
III. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA dan nama baik serta Harga Diri marwah Keluarga, maka termohon / YANG MEBERI KUASA kami melaksanakan Pelaporan kepada KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Melalui DAERAH ACEH – RESOR LHOKSEUMAWE {jalan Medan - Banda Aceh No. 1 Lhoksemawe} Nomor : TBL / 427 / VIII /2012 / Aceh / RES Lsmw Tanggal 15 Agustus 2012
IV. Bahwa KEMANUSIAAN YANG ADIL dan BERADAB, Keberatan DALAM PENANGANAN PIDANA atau TINDAK LANJUT laporan TINDAK PIDANA KORUPSI RESERSE KRIMINAL POLRES LHOKSEUMAWE PENYEDIK DAN PENYELIDIKAN LAPORAN POLRES LHOKSEUMAWE, NO : B / 669 / VIII / 2012 / RESKRIM MODEL A.1 tanggal 28 AGUSTUS 2012. Terkait penyelidikan yang tak berpihak dan Profesional sesuai dengan KODE ETIK KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA Perihal pemberitahuan perkembang hasil PENELITIAN LAPORAN. PENEGAKAN KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA harus dilaksanakan secara obyektif, akuntabel, menjunjung tinggi kepastian hukum dan rasa keadilan (legal and legitimate), TERLAPOR II dan terlapor III tidak tersentuh, Bahkan DUGAAN TINDAK PIDANA KORUPSI tidak tersentuh bahkan terkesan diabaikan Guna kepentingan PENYELIDIK/PENYIDIK terkait Laporan Pelapor Saudari SALMAWATI / YANG MEMBERI KUASA KAMI. KASAT RESKRIM POLRES LHOKSEUMAWE AKP.SUPRIADI, S.H, M.H NOMOR REGISTRASI PRAJURIT 73060057 , menunjuk BRIPKA BUSTANI, S.H / TERLAPOR KUASA KAMI DIDUGA MELAKUKAN PELANGGARAN :
UU RI NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG
KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
Pasal 4
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Pasal 5
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
1. UNDANG-UNDANG R,I No 2 Tahun 2002 Tentang KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
\\
2. PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2008 TENTANG PEMBENTUKAN RUANG PELAYANAN KHUSUS DAN TATA CARA PEMERIKSAAN SAKSI DAN/ATAU KORBAN TINDAK PIDANA
BAB II TUJUAN, PRINSIP, DAN ASAS
Pasal 3
(1) Prinsip penyelenggaraan pelayanan saksi dan/atau korban antara lain:
a. menjunjung tinggi hak asasi manusia;
b. memberikan jaminan keselamatan terhadap saksi dan/atau korban yang memberikan keterangan;
c. menjaga kerahasiaan saksi dan/atau korban;
d. meminta persetujuan secara lisan akan kesediaan saksi dan/atau korban untuk memberikan keterangan;
e. mengajukan pertanyaan dengan cara yang bijak;
f. tidak menghakimi saksi dan/atau korban;
g. menyediakan penerjemah, apabila diperlukan;
h. mendengarkan keterangan korban dengan aktif dan penuh pengertian;
i. memberikan informasi tentang perkembangan perkaranya;
j. menjaga profesionalisme untuk menjamin terwujudnya keadilan dan kepastian hukum;
k. memperlakukan saksi dan/atau korban dengan penuh empati.
BAB VI
MEKANISME PELAYANAN DI RPK
Pasal 11
Personel yang mengawaki RPK, memberikan pelayanan kepada:
a. perempuan dan/atau anak yang statusnya sebagai saksi pelapor dan korban;
b. perempuan dan/atau anak yang statusnya sebagai tersangka tindak.
Pasal 12
Mekanisme pelaksanaan tugas/tata cara penanganan Saksi dan/atau korban tindak
pidana di RPK meliputi:
a. penerimaan Laporan Polisi;
b. penyidikan;
c. tahap akhir penyidikan.
Pasal 13
Mekanisme penerimaan Laporan Polisi di RPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf a, yaitu:
f. korban diterima oleh personel UPPA
g. proses pembuatan laporan polisi didahului dengan interviu/wawancara dan pengamatan serta penilaian penyidik/petugas terhadap keadaan saksi korban;
h. apabila saksi korban dalam kondisi trauma/stres, penyidik melakukan tindakan penyelamatan dengan mengirim saksi korban ke PPT Rumah Sakit Bhayangkara untuk mendapatkan penanganan medis-psikis serta memantau perkembangannya;
i. dalam hal saksi dan/atau korban memerlukan istirahat, petugas mengantar keruang istirahat atau rumah aman atau shelter;
j. apabila korban dalam kondisi sehat dan baik, penyidik dapat melaksanakan interviu/wawancara guna pembuatan laporan polisi;
k. pembuatan laporan polisi oleh petugas UPPA dan bila perlu mendatangi TKP untuk mencari dan mengumpulkan barang bukti;
l. register penomoran laporan polisi ke Sentra Pelayanan Kepolisian (SPK);
m. dalam hal saksi dan/atau korban perlu dirujuk ke PPT atau tempat lainnya, petugas wajib mengantarkan sampai ke tujuan rujukan dan menyerahkan kepada petugas yang bersangkutan disertai dengan penjelasan masalahnya;
n. dalam hal saksi dan/atau korban selesai dibuatkan Laporan Polisi dan perlu visum maka, petugas mengantarkan saksi dan/atau korban ke PPT untuk mendapatkan pemeriksaan kesehatan dan visum;
o. kasus yang tidak memenuhi unsur pidana, dilakukan upaya bantuan melalui konseling dan pendekatan psikologis;
Pasal 14
Mekanisme penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf b, yaitu:
p. Penyidik membuat surat permohonan pemeriksaan kesehatan dan visum kepada Kepala RS Bhayangkara atau rumah sakit lainnya yang secara hukum dapat mengeluarkan visum sehubungan dengan laporan polisi yang dilaporkan oleh korban;
q. Penyidik menyiapkan administrasi penyidikan;
r. apabila korban siap diperiksa dan bersedia memberikan keterangan terkait dengan laporan polisi yang dilaporkan korban, penyidik dapat melaksanakan kegiatan membuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) terhadap korban;
s. apabila kasus yang dilaporkan korban melibatkan satu korban, dan satu tersangka saja, maka laporan polisi tersebut dapat ditindaklanjuti oleh seorang penyidik saja;
t. apabila kasus yang dilaporkan korban melibatkan banyak korban, tersangka, kurun waktu, barang bukti maupun tempat kejadian maka tugas penyidikan dilaksanakan dalam bentuk tim yang telah ditentukan oleh Ka. UPPA dan saksi/korban tetap diperiksa oleh Polwan Unit PPA, sedangkan pengembangannya dapat dilaksanakan oleh Penyidik Polri pria;
u. apabila saksi korban berasal dari luar kota, maka untuk kepentingan penyidikan korban dapat dititipkan di shelter milik Departemen Sosial Republik Indonesia (Depsos) atau pihak lain yang dinilai dapat memberikan perlindungan dan pelayanan hingga korban siap dipulangkan ke daerah asalnya.
Pasal 15
Tahap akhir penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf c, meliputi:
v. koordinasi dengan instansi terkait sebagai ahli dalam rangka memperkuat pembuktian kasus yang sedang ditangani.
w. menyelenggarakan gelar perkara kasus yang disidik;
x. penelitian terhadap berkas perkara yang akan dikirim ke Jaksa Penuntut Umum(JPU);
y. menitipkan korban pada rumah perlindungan milik Depsos RI atau pihak lain yangdinilai dapat memberikan perlindungan dan pelayanan kepada korban apabilakorban diperlukan kehadirannya di pengadilan;
z. melakukan koordinasi dengan instansi dan LSM yang peduli terhadap perempuandan anak korban tindak pidana pada sidang pengadilan, agar proses peradilandan putusannya benar-benar memenuhi rasa keadilan.
BAB VII TATA CARA PEMERIKSAAN SAKSI DAN/ATAU KORBAN Bagian Kesatu
Pemeriksaan
Pasal 16
(1) Persiapan untuk melakukan pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban
mempedomani prosedur sebagai berikut:
a. dalam hal telah dibuatkan Laporan Polisi, dan akan dilanjutkan dengan tahap pemeriksaan,maka Kepala UPPA menunjuk para petugas pemeriksa dengan surat perintah
b. petugas yang menerima perintah untuk melakukan pemeriksaan segera melakukan kegiatan pemeriksaan.
(2) Kegiatan pemeriksaan meliputi:
a. menyiapkan administrasi penyidikan berupa Surat Perintah Tugas (Springas), Surat Perintah Penyidikan (Sprindik), Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP)
b. menyusun rencana penyidikan/pemeriksaan;
c. menentukan waktu, tempat dan sarana pemeriksaan dan menyampaikan
d. kepada saksi dan/atau korban yang akan diperiksa;
e. menyusun daftar pertanyaan pemeriksaan;
f. menyiapkan ruangan pemeriksaan yang kondusif bagi yang akan diperiksa, agar dapat bebas dari gangguan fisik ataupun psikis bagi yang akan diperiksa.
Pasal 17
(1) Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban dilaksanakan dengan memperhatikan ketentuan sebagai berikut:
a. petugas tidak memakai pakaian dinas yang dapat berpengaruh terhadap psikis saksi dan/atau korban yang akan diperiksa;
b. menggunakan bahasa yang mudah dapat dimengerti oleh yang diperiksa, bila perlu dengan bantuan penerjemah bahasa yang dipahami oleh yang diperiksa;
c. pertanyaan diajukan dengan ramah dan penuh rasa empati;
d. dilarang memberikan pertanyaan yang dapat menyinggung perasaan atau hal-hal yang sangat sensitif bagi saksi dan/atau korban yang diperiksa;
e. tidak memaksakan pengakuan, atau memaksakan keterangan dari yang diperiksa;
f. tidak menyudutkan atau menyalahkan atau mencemooh atau melecehkan yang diperiksa;
g. tidak memberikan pertanyaan yang dapat menimbulkan kekesalan/kemarahan yang diperiksa;
h. tidak bertindak diskriminatif dalam memberikan pelayanan/pemeriksaan;
i. selama melakukan pemeriksaan, petugas senantiasa menunjukkan sikap bersahabat, Pelindungi, dan mengayomi yang diperiksa;
j. selama dalam pemeriksaan, petugas mendengarkan dengan saksama semua keluhan, penjelasan, argumentasi, aspirasi, dan harapan untuk kelengkapan hasil Laporan Polisi yang berguna bagi proses selanjutnya;
k. selama dalam pemeriksaan, petugas senantiasa menaruh perhatian terhadap situasi dan kondisi fisik maupun kondisi kejiwaan yang diperiksa.
(2) Standar urutan pertanyaan yang diajukan antara lain sebagai berikut:
a. menanyakan kesehatan serta kesediaannya untuk diperiksa;
b. menanyakan tentang bahasa yang dipahami dan akan digunakan dalam pemeriksaan;
c. menanyakan perlu tidaknya didampingi oleh Penasihat hukum atau pendamping lainnya;
d. dalam hal yang diperiksa adalah anak, pemeriksa wajib memperhatikan dan mempedomani peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan anak;
e. pemeriksaan terhadap anak wajib disediakan pendamping dan/atau Penasihat hukum dan/atau psikolog oleh penyidik;
(3) Pertanyaan yang diajukan dalam rangka mendapatkan keterangan mengenai substansi
Perkara yang sedang diperiksa, antara lain:
a. latar belakang permasalahan atau perkara;
b. kronologis peristiwa yang dialami oleh saksi dan/atau korban;
c. kerugian yang diderita oleh saksi dan/atau korban sebagai bahan pengajuan restitusi atau pemberian ganti rugi;
d. barang bukti yang dapat diperoleh dan dapat digunakan untuk alat bukti;
e. hubungan saksi dan/atau korban dengan saksi lainnya atau tersangka;
f. tuntutan atau harapan saksi dan/atau korban.
(4) Pertanyaan yang perlu diberikan pada bagian akhir pemeriksaan antara lain:
a. pembacaan kembali hasil pemeriksaan;
b. apakah ada jawaban-jawaban sebelumnya, yang perlu dikoreksi/diubah;
c. apakah ada keterangan tambahan;
d. apakah ada pemaksaan dalam memberikan keterangan;
e. apakah bersedia menandatangani BAP.
3. PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2011 TENTANG KODE ETIK PROFESI KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
BAB III “KEWAJIBAN DAN LARANGAN” Bagian Kesatu Kewajiban
Paragraf 2 Etika Kelembagaan
Pasal 7
(1) Setiap Anggota Polri wajib:
a. setia kepada Polri sebagai bidang pengabdian kepada masyarakat, bangsa, dan negara dengan memedomani dan menjunjung tinggi Tribrata dan Catur Prasetya;
b. menjaga dan meningkatkan citra, soliditas, kredibilitas, reputasi, dan kehormatan Polri;
c. menjalankan tugas secara profesional, proporsional, dan prosedural;
d. melaksanakan perintah dinas untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan dalam rangka pembinaan karier dan peningkatan kemampuan profesionalisme Kepolisian;
e. menjalankan perintah dinas untuk melaksanakan mutasi dalam rangka pembinaan personel, profesi, karier, dan penegakan KEPP;
f. mematuhi hierarki dalam pelaksanaan tugas;
g. menyelesaikan tugas dengan saksama dan penuh rasa tanggung jawab;
h. memegang teguh rahasia yang menurut sifatnya atau menurut perintah kedinasan harus dirahasiakan;
i. menampilkan sikap kepemimpinan melalui keteladanan, ketaatan pada hukum, kejujuran, keadilan, serta menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam melaksanakan tugas;
j. melaksanakan perintah kedinasan dalam rangka penegakan disiplin dan KEPP berdasarkan laporan/pengaduan masyarakat tentang adanya dugaan pelanggaran disiplin dan/atau Pelanggaran KEPP sesuai dengan kewenangan;
k. melaksanakan perintah kedinasan yang berkaitan dengan pengawasan internal di lingkungan Polri dalam rangka penguatan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP);
l. menghargai perbedaan pendapat yang disampaikan dengan cara sopan dan santun pada saat pelaksanaan rapat, sidang, atau pertemuan yang bersifat kedinasan;
m. mematuhi dan menaati hasil keputusan yang telah disepakati dalam rapat, sidang, atau pertemuan yang bersifat kedinasan;
n. mengutamakan kesetaraan dan keadilan gender dalam melaksanakan tugas; dan
o. mendahulukan pengajuan laporan keberatan atau komplain kepada Ankum atau Atasan Ankum berkenaan dengan keputusan yang dinilai bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebelum mengajukan gugatan ke Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Paragraf 3 Etika Kemasyarakatan
Pasal 10
Setiap Anggota Polri wajib:
a. menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip dasar hak asasi manusia;
b. menjunjung tinggi prinsip kesetaraan bagi setiap warga negara di hadapan hukum;
c. memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cepat, tepat, mudah, nyaman, transparan, dan akuntabel berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
d. melakukan tindakan pertama kepolisian sebagaimana yang diwajibkan dalam tugas kepolisian, baik sedang bertugas maupun di luar tugas.
e. memberikan pelayanan informasi publik kepada masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
f. menjunjung tinggi kejujuran, kebenaran, keadilan, dan menjaga kehormatan dalam berhubungan dengan masyarakat.
Bagian Kedua Larangan Paragraf 1 Etika Kenegaraan
Pasal 14
Setiap Anggota Polri dalam melaksanakan tugas penegakan hukum sebagai penyelidik, penyidik pembantu, dan penyidik dilarang:
a. mengabaikan kepentingan pelapor, terlapor, atau pihak lain yang terkait dalam perkara yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
b. menempatkan tersangka di tempat bukan rumah tahanan negara/Polri dan tidak memberitahukan kepada keluarga atau kuasa hukum tersangka;
c. merekayasa dan memanipulasi perkara yang menjadi tanggung jawabnya dalam rangka penegakan hukum;
d. merekayasa isi keterangan dalam berita acara pemeriksaan;
e. melakukan pemeriksaan terhadap seseorang dengan cara memaksa untuk mendapatkan pengakuan;
f. melakukan penyidikan yang bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan karena adanya campur tangan pihak lain;
g. menghambat kepentingan pelapor, terlapor, dan pihak terkait lainnya yang sedang berperkara untuk memperoleh haknya dan/atau melaksanakan kewajibannya;
h. merekayasa status barang bukti sebagai barang temuan atau barang tak bertuan;
i. menghambat dan menunda-nunda waktu penyerahan barang bukti yang disita kepada pihak yang berhak sebagai akibat dihentikannya penyidikan tindak pidana;
j. melakukan penghentian atau membuka kembali penyidikan tindak pidana yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
k. melakukan hubungan atau pertemuan secara langsung atau tidak langsung di luar kepentingan dinas dengan pihak-pihak terkait dengan perkara yang sedang ditangani;
l. melakukan pemeriksaan di luar kantor penyidik kecuali ditentukan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
m. menangani perkara yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
Hal ini dapat dilihat, dikaji, dinilai dan disaksikan oleh saksi-saksi kami, DALAM MENINDAK LANJUTI dan MENANGANI LAPORAN PELAPOR/yang Memberi Kuasa Kami. TIDAKLAH PROFESIONAL SESUAI DENGAN UNDANG-UNDANG /PERATURAN POLRI/KEPUTUSAN KAPOLRI KODE ETIK PROFESI POLRI
Sementara jual beli menurut hukum pertanahan nasional adalah perbuatan hukum pemindahan hak yang mempunyai 3 (tiga) sifat, yaitu :
1) Bersifat terang, maksudnya perbuatan hukum tersebut dilakukan dihadapan PPAT sehingga bukan perbuatan hukum yang gelap atau yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
2) Bersifat tunai, maksudnya bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain yang
disertai dengan pembayarannya.
3) Bersifat riil, maksudnya bahwa akta jual beli tersebut telah ditandatangani
oleh para pihak yang menunjukkan secara nyata atau riil telah dilakukannya
perbuatan hukum jual beli. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah
dilakukannya perbuatan hukum pemindahan.
Perbuatan hukum jual beli dalam peralihan hak atas tanah merupakan penyerahan tanah dari pihak penjual kepada pihak pembeli untuk selamanya pada saat mana pihak pembeli menyerahkan harganya kepada pihak penjual Sehingga pada saat jual beli hak atas tanah itu langsung beralih dari penjual kepada pembeli.
Syarat materiil sangat menentukan akan sahnya jual beli tanah tersebut, antara lain sebagai berikut:
1) . Penjual adalah orang yang berhak atas tanah yang akan dijualnya.
a. Harus jelas calon penjual, ia harus berhak menjual tanah yang hendak dijualnya, dalam hal ini tentunya si pemegang yang sah dari hak atas tanah itu yang disebut pemilik
b. Dalam hal penjual sudah berkeluarga, maka suami isteri harus hadir dan bertindak sebagai penjual, seandainya suami atau isteri tidak dapat hadir maka harus dibuat surat bukti secara tertulis dan sah yang menyatakan bahwa suami atau isteri menyetujui menjual tanah
c. Jual beli tanah yang dilakukan oleh yang tidak berhak mengakibatkan jual beli tersebut batal demi hukum. Artinya sejak semula hukum menganggap tidak pernah terjadi jual beli.
2) Pembeli adalah orang yang berhak untuk mempunyai hak atas tanah yang dibelinya.
Hal ini bergantung pada subyek hukum dan obyek hukumnya. Subyek hukum adalah status hukum orang yang akan membelinya, sedangkan obyek hukum adalah hak apa yang ada pada tanahnya. Misalnya menurut UUPA yang dapat mempunyai hak milik atas tanah hanya WARGA NEGARA INDONESIA dan BADAN-BADAN HUKUM yang ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Apabila hal ini dilanggar maka jual beli batal demi hukum dan tanah jatuh kepada Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung serta semua pembayaran yang telah diterima oleh pemilik tidak dapat dituntut kembali.
MENGINGAT :
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043);
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-
Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 199, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038);
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional;
5. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia;
6. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan;
7. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik;
8. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/26/M.PAN/2/2004 tentang Petunjuk Teknis Transparansi Dan Akuntabilitas Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Publik;
9. Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/118/M.PAN/8/2004 tentang Pedoman Umum Penanganan Pengaduan Masyarakat Bagi Instansi Pemerintah;
10.Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/25/M.PAN/05/2006 tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik;
Sehubungan dengan adanya salah satu Pihak yang dirugikan, sebagai Warga Negara Indonesia, GUNA menjunjung tinggi kepastian hukum dan rasa keadilan (legal and legitimate) yang memiliki hak yang sama didepan hukum tanpa dibeda-bedakan Hak Asasi Manusia yang hakiki .
Senin 8 September 2012 Termohon/Pihak pemberi Kuasa/ Pelapor :
Nama : SALMAWATI
NIK : 1108164107700550
Tempat /tanggal : ALUE PAPEUN, 1 JULI 1970
Alamat : dusun Drein kawan Gampong Alue Papeun Kec.
Nisam Antara Kab. Aceh Utara- Aceh
Sabtu, 8 September 2012 telah diberi Hak, Untuk dan Atas Nama Pemberi Kuasa Hukum mengingat HAK SUBTITUSI Oleh sebab itu maka Kami atas Nama Lembaga Swadaya Masyarakat Gerakan Aspirasi Pemuda Aceh Rakyat Indonesia KEBERATAN Dengan Kebijakkan Apratur Penyelenggara Negara yang tidak memiliki rasa Keadilan yang Sesungguhnya, Bahwa Kepala Kantor KECAMATAN KUTA MAKMUR sebagai (TERLAPOR)
==== MUHAMMAD ZULFADLI, S.Sos ====
Dugaan terhadap manipulasi data fiktif dan penyalahgunaan wewenang jabatan pada dirinya
Diduga melakukan pelanggaran Pasal 3 UU RI No. 31 Tahun 1999 jo. UU RI No. 20 Tahun 2001S
“ MENYALAHGUNAKAN KEWENANGAN UNTUK MENGUNTUNGKAN DIRI SENDIRI DAN DAPAT MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA ” Atas lambannya Proses Penanganan Pengaduan masyarakat dan Balasan Surat yang dinilai tidak Etis dan Tidak Profesional, sehubungan Surat yang dimaksud tidak ber-Convertable.
DENGAN MENGINGAT HAK SUBTITUSI YANG MEMBERI PADA BADAN PENGURUS WILAYAH LSM GASPARI, demi Hukum yang berkeadilan serta kepastian Hukum demi mewujudkan Tata Kelola Pemerintah yang baik.
Demikian Surat Intrupsi dari Lembaga kami ini, diberikan untuk dilaksanakan dengan baik dan Penuh rasa tanggung jawab . Atas bantuan dan Kemudahan yang diberikan Kepada Kami demi kelancaran tugas yang sangat kami hargai. Terima kasih.
Lhokseumawe, 14 September 2012
BADAN PENGURUS WILAYAH LSM GASPARI
KETUA UMUM
ttd
GUSLIAN ADE CHANDRA
N.A.G; 2009100231
|
TERLAPOR PPAT CAMAT KUTA MAKMURMUHAMMAD ZULFADLI, S.sosYANG MENGANGKANGI PERKAP BPN RI DAN PELANGGARKUHP PASAL 264 AYAT (1) ANGKA 1DAN AYAT (2) |
TIM INVESTIGASI SAAT MENGUNJUNGI KEPALA DESA SIDOMULYO KEC. KUTAMAKMUR KAB. ACEH UTARA
KETUA UMUM LSM GASPARI
|
TIM LSM GASPARI AUDIENSI {LAPORAN PENGAJUAN LIDIK ETIK PROFESI POLRI } Bripka Bustani, SH
|